Senin, 14 Januari 2013

Emotional Connection

Menjalani kehidupan dengan pasangan, kadang sering mengalami pasang surut. Begitu pula yang sedang dialami oleh saudara ipar saya. Suaminya yang terliat selama ini, pendiam, penurut dan kalem, ternyata atas pengakuannya sendiri melakukan affair dengan teman sekantornya yang dilakukan sejak lama. Cukup menghebohkan keluarga besar suami saya, mungkin sampai sekarang ini. Karena saya tidak lagi tinggal dalam keluarga extend family, makanya saya tak lagi mengikuti perkembangan peristiwa tersebut secara langsung. Pada dasarnya saya lebih suka mengamati dan menganalisa motif dari affair tersebut. Biasanya saya hanya berperan sebagai pendengar yang baik. Kalau pas dicurhatin yaa.. saya dengarkan.. kalau pun tidak, saya tidak terus berusaha mencari info tambahan. Hidup saya sudah cukup rumit, masih saja ditambahin dengan mendengar urusan orang laen. Waduh.. bukan gaya saya sepertinya.. Kalau menurut saya, kondisi si suami melakukan affair, terlepas dari mungkin rasa suka pada pasangan affair-nya, saya merasa si suami merasa tertekan secara psikis dan material. Gaji yang terima sepertinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang semakin hari semakin meningkat. Belum lagi tekanan yang diterima ketika tinggal pada keluarga extended family. Saya sendiri yang merasakan hanya tinggal selama 3 bulan, mengalami tekanan yang sama, secara psikis memang tidak sehat untuk tinggal dalam suatu extended family. Tapi masalahnya, ketika sekarang ini keluarga dituntut untuk mencari nafkah keduanya, maka terpaksalah, tinggal dalam suatu keluarga besar menjadi alternatif selain menyerahkan pengasuhan anak pada pembantu. Berdasar studi M. Gary Neuman dalam buku The Truth About Cheating: Why Men Stray and What You Can Do To Prevent It, bahwa pria tidak akan berselingkuh hanya karena pasangannya tidak memberi kepuasan bercinta. Mereka berpaling karena semakin kurangnya aksi cinta seperti afeksi, telepon mesra, ciuman dan minimnya kualitas waktu berdua. Tanpa bermaksud membela kaum pria, wanita pun melakukan hal yang sama. Lack of emotional connection. Relationship itu butuh kerja keras. Satu-satunya cara yang akan menyelamatkan jalinan cinta yaitu dengan membangun penghalang untuk menyingkirkan ancaman “ketidaksetiaan”. Biasanya dapat ditempuh dengan penempatan persepsi, yaitu : 1. Tempatkan pasangan sebagai prioritas. Melihat kasus saudara ipar saya tersebut, memang tampak sekali ketika peran ekonomi istri lebih dominan, selain tingkat pendapatan yang memang lebih besar daripada pendapatan suami. Namun tidak seharusnya membuat suami mengesampingkan kebutuhan istri, dan malah mencurahkan cerita-ceritanya pada orang lain. Mungkin memang pada dasarnya cinta, namun cinta itu harus dijalankan dengan logika, bahwa sekarang ini sudah bukan saatnya lagi untuk membagi cerita pada orang lain. Urusan keluarga menjadi hal yang utama. Apa gunanya menikah jika tidak bisa menempatkan pasangan sebagai sahabat? Karena menurut saya, selain peran suami atau istri, cinta semakin lama akan berganti peran menjadi sayang, dan itu didapatkan dari rasa persahabatan dengan suami. 2. Pastikan bisa bicara saat apapun Saya berpikir, bila pasangan memang sejak awal haruslah nyambung. Gile ajah, ketika memutuskan untuk hidup bersamanya, terus ternyata pasangan kita bukanlah orang yang nyambung untuk diajak gaul, cerita, bercanda atau hal menyenangkan lainnya. Haduh, saya tak sanggup membayangkan. Hidup berkeluarga merupakan komitmen yang tidak bisa diajak kompromi untuk melaksanakan hal yang menyenangkan. Setiap keluarga selalu punya moment dimana kegembiraan merupakan hal yang wajib ada. 3. Pasangan perlu tahu sesuatu… yang selama ini kita tutup rapat-rapat. Kadang saya berpikir bahwa ada kalanya bahwa masa lalu merupakan hal yang perlu kita buang jauh dan kalau perlu, dilupakan. Misalnya kenangan pacaran bersama mantan pacar. Bagi saya, kalau memang saya ingin serius menjalani hidup dengan pasangan saya sekarang, lebih baik, lupakan kenangan dengan mantan pacar tersebut. Karena bila terus mengingatnya, yang ada justru saya akan membandingkan kondisi saat itu dengan saat sekarang ini. Tidak adil bagi pasangan sekarang ini, ketika sudah serius membangun komitmen bersamanya, namun masih saja membawa ingatan pada masa lalu. Bayangkan saja bila hal tersebut terjadi pada diri kita, ketika pasangan membayangkan kenangan masa lalu dengan mantan pacarnya. Sungguh menyakitkan. Jadi yang saya lakukan sekarang adalah membuang jauh, nomor telephon, akun FB dan twitter, alamat email, dan semua hal apapun yang berkaitan dengan mantan pacar. Karena pada dasarnya, saya bukan orang yang sanggup berdamai dengan masa lalu. Tipikal pendendam seperti saya ini, kadang memang butuh pemaksaan tersendiri agar saya bisa melupakan masa lalu. Memang butuh waktu untuk melakukan hal tersebut, namun demi kesehatan hubungan saya dengan pasangan dan mampu fokus pada masa depan anak-anak saya kelak, sepertinya langkah tersebut yang pas untuk saya lakukan. 4. Strategi saling mengisi Seperti layaknya sebuah team work, perasaan terhadap pasangan merupakan rasa afeksi yang menempatkan kekurangan sebagai ladang amal untuk menutupinya dengan kelebihan yang kita miliki. Makanya ketika awal sebelum menikah, bisa seharusnya diukur, dengan segala kekurangannya, apakah kita mampu memaklumi dan memberikan hal yang terbaik dari diri kita agar mampu mengisi kekurangannya. Memaklumi segala hal yang kadang mengesalkan, memang butuh kesabaran extra. Apalagi ketika mungkin saat pacaran, sudah terlihat tanda-tanda kita tidak mampu mengisi kekurangannya, alangkah lebih baiknya, bila dikaji lebih lanjut bila berniat berkomitmen lebih serius lagi. Alangkah menyeramkannya ketika kelak, saat telah menikah, ternyata kita tidak sanggup saling mengisi. Dampaknya akan berbeda ketika berpisah ketika pacaran dan atau ketika menikah. Karena menikah, komitemen itu tidak hanya datang dari kedua belah pihak yang menikah, melainkan melibatkan extended family. Ketika saya pindah dari extended family suami, rasanya memang lega dan menyenangkan. Bukan berarti saya merasakan kebebasan, namun lebih pada, saya tidak perlu lagi berakting dalam mengekspresikan gaya saya. Mau tiduran seharian, terserah saya. Mau tidak mandi, itu urusan saya dan bau badan saya, hehehe.. mau masak apa ajah, tidak ada yang komentar aneh. Mau berantem dengan suami, tidak perlu seluruh dunia tau.. Mau rumah berantakan, itu hak saya… hehehe..

Tidak ada komentar: