Sabtu, 19 Januari 2013

The Project

Saya sedang mengetes diri saya sendiri untuk mengerjakan suatu project. Tenggat waktu project tersebut sekitar Mei 2013. Dengan kesibukan saya mengurus bayi, sepertinya saya kudu ekstra kerja keras lagi. Karena memang tidak ada yang membantu untuk merawatnya. Ibu saya rencana akan kembali pulang ke Jogja, awal Februari ini. Sehingga otomatis, saya kudu bisa akrobat sendiri untuk menyelenggarakan kegiatan rumah tangga. Sebenarnya saya sedang membayangkan, bisa tidak ya, antara mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menyelesaikan project yang menjadi target saya tersebut. Karena awal pemberitahuan project tersebut memang awal tahun. Sedangkan saya tidak punya stok untuk melengkapi project tersebut, sehingga sekarang ini saya tengah mengerjakan hal tersebut. Kemudian penyakit kronis saya adalah paling malas menyelesaikan sesuatu yang sudah sudah saya mulai. Kadang ketika saya review, ya cuma terhenti sampai di tengah jalan saja. Tidak kemana-mana. Hal kedua yang menjadi masalah sekarang, hanyalah energi untuk mengerjakan itu semua. Artinya, darimana saya mendapatkan energi untuk menyelesaikan semuanya itu. Musuh saya, hanyalah rasa kantuk. Mungkin saya tidak lapar, masih bisa menahan untuk tidak makan, saya masih sanggup. Tapi bagaimana mensiasati rasa kantuk. Sampai sekarang ini, saya masih belum menemukan cara untuk mengatasi rasa kantuk tersebut. Tadi pagi, saya mencoba menyebarkan pertanyaan saya tersebut di sosial media. Dan mendapat jawaban, untuk mencuci muka dan memakan cabe. Hahaha.. saran yang cukup konyol sebenarnya, tapi mungkin efektif. Karena memang saya harus bisa melakukan semuanya sendiri. Kalau selama ini orang-orang menggembar-gemborkan slogan kesetaraan gender. Mungkin memang benar adanya kalau hal tersebut hanyalah omong kosong belaka. Para suami hanyalah orang yang sanggup memerintah dan komplain. Sehingga saya menyadari ketika para ibu menjadi orang yang paling senewen, ya wajar. Beban kegiatan yang demikian kompleks di rumah, dan tingkat stress tinggi yang menjadi pemicu awal mengapa ibu-ibu tersebut mempunyai sifat yang nyaris seragam. Bawel. Back to the project. Berharap saya bisa menyelesaikan sesuai dengan rencana saya. Apalagi kelak bila masa cuti melahirkan saya telah berakhir. Pastinya saya akan lebih repot lagi. Namun, itu belum dijalani. Saya sedang belajar untuk berdamai dengan pikiran saya sendiri. Alias tidak mau untuk mengandaikan semuanya. Banyak pasangan yang selama ini saya kenal, tidak menggunakan tenaga pembantu dalam menyelesaikan pekerjaan domestic. Nyatanya mampu kok. Ibu saya sendiri saja, selama puluhan tahun tidak menggunakan pembantu dalam mengasuh saya dan kakak saya. Berhasil juga. Tapi ibu saya tidak bekerja di luar rumah memang. Mungkin ibu dosen saya, yang bisa dijadikan role model. Namun, mengajar kan jam kerjanya fleksible. Tidak seperti perusahaan yang kudu 9 to 5. Baiklah, saya masih belum menjalaninya. Tidak usah memperkirakan kejadian yang belum pasti akan terjadi. Selalu ada jalan ketika kita mau berusaha dan berdoa. Tetap meneruskan project. Mumpung ibu masih ada disini, bisa dimaksimalkan kegiatan project tersebut. Atau browsing cara menghilangkan kantuk selain dengan tidur dan minum kopi. Mengalahkan rasa malas, adalah dengan terus bergerak. Tadi saya menemukan trik tersebut. Rasanya menyenangkan kok. Saya tidak ingin menjadi orang yang tidak konsisten. Ketika saya mencibir orang yang malas, artinya saya punya konsekuensi logis untuk tidak malas dunk. Karena saya benci dengan pakaian yang menumpuk, maka setiap pagi, saya usahakan pertama kali gerakan badan saya adalah mencuci pakaian bayi. Musim hujan tidak bisa ditebak. JIka menjelang siang, sepertinya saya kudu mampu untuk setrika. Kembali melawan rasa kantuk. Belum lagi jika bayi saya rewel. Please, semoga dirimu selalu baik-baik saja ya, Girl. Project ibu, masih belum kelar. Tolong dukungan dan pengertiannya.. hehehe..

Rabu, 16 Januari 2013

Material

Kebetulan saya di kelilingi oleh wanita-wanita hebat, ibu saya, ibu mertua dan teman-teman wanita yang memang ulet untuk mengisi hidup dengan kerja keras. Ibu saya, dengan usia lebih dari 65 tahun masih aktif di kegiatan kampung. Usia yang kadang membuat orang lain iri karena kegesitan ibu saya tersebut dalam berkegiatan. Masih bisa mengomel pada polisi yang akan memberikan sanksi tilang pada ibu saya karena ibu saya kena razia mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM. Alhasil, bapak saya yang mengantar ibu saya untuk mengikuti sidang diantara sekian banyak mahasiswa dan anak-anak muda lainnya yang juga terkena razia. Kelakuan aneh nenek-nenek gokil. Maka dari itu, ibu-ibu sekitar rumah masih menganggap ibu saya mampu menjadi pengurus RW yang bisa diandalkan. Padahal sesungguhnya, ibu saya itu sudah sangat malas untuk melakoni kegiatan kelurahan dan sebagainya tersebut. Tapi demi kepercayaan dan rasa tenggang rasa pada warga kampung, ibu saya masih mau sibuk dengan kegiatan kelurahannya tersebut. Ibu mertua saya juga termasuk wanita perkasa, dengan menggeluti usaha warung makan masakan Padang dimana yang masak bukan orang Padang, namun bisa menghasilkan masakan Padang yang selalu dinanti pelanggannya. Bangun pagi sekitar Shubuh, belanja ke pasar untuk mendapatkan sayur dan lauk segar, kemudian mengolahnya untuk target membuka warung sekitar jam 10an. Daily, mengawasi pekerjaan anak buah, melayani pembeli, memotong ikan dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan memasak masakan tersebut, dilakukan sendiri. Artinya dalam pengawasannya. Tutup warung mungkin sekitar pukul 7 malam, itu pun belum tentu bisa istirahat, karena memang harus menyiapkan bumbu untuk masakan esok hari, ataupun menghangatkan masakan. Tidak terbayangkan betapa lelahnya bekerja fisik seperti itu. Namun demi kelangsungan hidup banyak orang, dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, berbisnis pada sektor riil, memang lebih menghasilkan. Membiayai sekolah kerabat jauh, membayar tagihan, dan seabrek pengeluaran lainnya. Kemudian seorang teman wanita saya, yang sumpah.. sangat gigih untuk selalu ulet bekerja keras, siang malem.. kayak parkiran motor. Pagi, dia berkantor di sebuah perusahaan besar penyedia sparepart alat-alat berat. Segudang bisnis MLM yang dia geluti, belum lagi kalau ada teman yang berangkat keluar daerah, pasti minta titip barang-barang yang bisa dijual kembali disini. Malam harinya, dia masih mengawasi sebuah warung makan yang lumayan terkenal di sini. Bener-bener wanita yang perkasa. Cerdas dalam memanfaatkan waktu hidupnya untuk selalu menghasilkan sesuatu. Saya saja melihatnya sampai salut sekali. Karena saya pengen sebetulnya begitu. Cuma yang saya lakukan, adalah bekerja siang pada perusahaan, malemnya ngajar. Udah segitu ajah. Jualan baju, masih dibilang gagal. Karena uangnya pergi entah kemana digunakan untuk konsumsi lainnya. Haadeeww, pusing saya. Tahun ini, saya rencananya memang pengen belajar bisnis, jualan sesuatu, Cuma sampai sekarang, saya masih pusing, jualan apa yang cocok. Dulu jualan pulsa, yang ada tekor, karena kebanyakan yang utang.. hehehe.. padahal menurut saya, jualan model begitulah yang seharusnya saya geluti. Bukan barang yang kudu cepat habis dan semua orang membutuhkannya. Mengikuti kegiatan MLM juga terkendala dengan pemasaran. Pangsa pasar saya, hanya kantor, rumah dan tempat les. MLM yang saya ikuti, isinya berjualan produk wanita. Tas, aksesoris, baju dan sebangsanya. Di kantor pun, beberapa teman telah menjalani bisnis yang sama. Jadi kalaupun saya mengikutinya, ya sama juga boong, ntar dikira saling memangsa konsumen orang. Kebutuhan hidup memang akan selalu terus meningkat sesuai dengan pertambahan itu sendiri. Dulu, saya mampu menghidupi diri dengan sewa kamar empat ratus ribu rupiah. Kemudian saya menikah, kebetulan kami menemukan rumah sewa yang cukup murah, yaitu enam ratus ribu rupiah, termasuk listrik dan air. Cukup menyenangkan, hingga betah selama 2 tahun untuk tidak pindah lagi. Lingkungan yang kekeluargaan dan dekat dengan tempat belanja. Saat perlu rumah lagi karena butuh tempat yang lebih luas lagi, rasanya masih sayang untuk pergi dari rumah itu. Sungguh, ibu dan bapak kost, sudah kita anggap seperti keluarga sendiri. Oleh karena itu, begitu mendapatkan rumah baru, kami mencarinya betul-betul dengan seleksi yang baik. Memperhatikan kondisi lingkungan, listrik dan air. Semoga saja, ibu dan bapak kost yang baru, tidak menaikkan sewa rumah ini. Kehadiran anak juga turut mempengaruhi orientasi keuangan. Kini tak lagi, gaji saya mungkin memang harus dibagi lagi untuk mencukupi kebutuhan saya dan anak. Sedangkan gaji suami, khusus untuk ditabung. Mengingat kebutuhan kadang terjadi secara mendadak. Jadi saya masih berpikir, akan menjalani bisnis yang bagaimana lagi? Kudu berkonsultasi dengan siapa ya? Sedangkan kemampuan saya hanya bisa menulis saja. Bisnis apa yang bisa dilakoni dengan menulis? Hehehe.. masa hanya menjadi blogger, cuap-cuap curhat tidak jelas begini. Mana bisa menghasilkan uang kalau caranya begitu. Atau memang kudu membaca ide kreatif dengan internet. Mau jualan barang di group BB, udah banyak juga yang broadcast hal yang sama. Hadeewww.. semoga segera datang ide tersebut. Bisnis.. bisnis.. bisnis.. ayo semua orang bisa menghasilkan uangnya sendiri. Tetap semangat yaa…

Senin, 14 Januari 2013

Embrio part 1

Perhaps this is the first journal about my pregnancy experiences. Mungkin karena saya bukan orang yang percaya dengan hal-hal yang berbau tahayul, akhirnya saya mulai menggabungkan pengalaman orang-orang disekitar saya untuk masukkan dalam akal saya sehingga tetap bisa saya maklumi. Walaupun kadang agak sedikit memaksa, jadi saya lakukan hanya dengan sebuah tindakan saja tanpa bermaksut apa-apa. Kebetulan saya seorang muslim, sehingga sedikit banyak saya juga belajar untuk bisa memahami bahwa musyrik merupakan hal yang dilarang agama saya. Sedangkan kasusnya, saya tinggal bersama dengan keluarga besar suami saya yang masih memegang teguh adat dan budaya yang kadang menurut saya tidak masuk akal. Namun menghormati orang tua merupakan hal yang diwajibkan, terpaksalah saya menuruti anjuran tersebut, tapi dengan tidak mengimaninya. Just bring a scissors when I’m going out. It doesn’t make a sense what I’ve done. But I really did it. Just because my respect to my husband mom. Sometimes I think that it could be possible to prevent a danger. But in this save neighborhoods, either I never walk alone, why suppose I bring that things? Kultur Jawa yang mengalir kental in my hole bloods, tidak membuat saya dengan serta merta dianjurkan untuk melakukan ritual aneh seperti yang dulu ibu saya lakukan. Mungkin karena ibu saya lebih memahami bahwa anaknya tidak lagi hidup dalam jaman yang penuh dengan hal-hal yang bisa dianggap tabu, sehingga ibu saya hanya menekankan pada asupan gizi dan perilaku yang menunjang saja. Seperti tidak menggunakan highheels, membuat makanan yang sekiranya memang diperlukan untuk pertumbuhan janin. That’s all. Sesuatu yang bisa saya terima dengan baik, karena jika ibu saya menyarankan hal-hal yang tidak masuk akal, yang ada hanya akan saya bantah. Sedangkan ibu saya sudah hapal dengan sikap tidak percayaan saya tersebut. Akhirnya cukup hal-hal normatif yang ibu saya sarankan. Begitulah enaknya ketika mempunyai ibu yang bisa mengerti tentang perkembangan permikiran anaknya yang semakin skeptis memandang tradisi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan superstitious. Jadi hasilnya ya begini, gado-gado dengan segala hal yang masuk akal dan kadang lebih sering saya simpan. It’s about the weird things. But it’s okay. Lha habis mau gimana lagi, karena memang semuanya punya pemikiran masing-masing untuk tetap menjalankan tradisi. Istilah waktu saya kuliah dulu, penjaga tradisi. Biasanya memang orang-orang yang menjadi penjaga tradisi merupakan orang yang kental sekali pemahamannya dengan segala rupa adat. Seniman, orang-orang tua dan segelintir orang yang dengan sadar, memahami estetika tersebut tetap kudu dilestarikan. Begitu pula ketika, bayi belum genap 35 hari, belum boleh ditaruh di lantai. Waduh, dengan kondisi rumah kontrakan saya yang minimalis, semuanya melantai. Gimana dunk? Hihihi.. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang menggilai furniture rumah. Perabotan yang saya punyai, memang menyesuaikan dengan fungsinya. Saya cuma punya lemari buku, meja belajar kecil untuk mengetik, kursi plastic, lemari makan, lemari pakaian, dan meja makan hasil kreatif suami. Ketika hamil pun, saya dilarang untuk potong rambut oleh ibu mertua saya. Saya tanggapi bahwa saya memang dituntut untuk selalu belajar sabar. Gile ajah, dengan kondisi cuaca ekstrem luar biasa panas, saya sibuk mengurus rambut saya yg cukup tebal dan panjang. Merepotkan memang, tapi ya sudahlah. Begitu pula dengan larangan mandi malam. Saya menanggapinya bahwa agar kesehatan ibu hamil tetap terjaga alias tidak masuk angin. Saya kebetulan memang alergi dengan panas. Saya lebih suka kedinginan ketimbang kepanasan. Ketika saya hamil kemarin, cuaca panas luar biasa memaksa saya untuk selalu berkeringat, lengket, panas dan banyak ketidaknyamanan yang menyertainya. Saya memutuskan untuk memperbanyak frekuensi mandi saya. Siang tengah hari, saya usahakan untuk mandi. Segarnya nyata kok, lumayan bisa menghilangkan kantuk akut. Kinerja di kantor, lebih semangat lagi, karena badan memang segar setelah istirahat. Kemudian, sekitar jam 8 malam, saya kembali mandi, nah kali ini dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Karena bila ketauan, akan kena marah. Dalam anggapan, bila mandi malam, ketika lahiran nanti, akan keluar air terus menerus dan tidak baik bagi bayi karena dapat mengakibatkan kekurangan cairan. Ya sudahlah.. saya berusaha menuruti semua nasehat orang-orang yang sayang pada saya. Walaupun pada pelaksanaannya, tidak sempurna sama sekali.

Emotional Connection

Menjalani kehidupan dengan pasangan, kadang sering mengalami pasang surut. Begitu pula yang sedang dialami oleh saudara ipar saya. Suaminya yang terliat selama ini, pendiam, penurut dan kalem, ternyata atas pengakuannya sendiri melakukan affair dengan teman sekantornya yang dilakukan sejak lama. Cukup menghebohkan keluarga besar suami saya, mungkin sampai sekarang ini. Karena saya tidak lagi tinggal dalam keluarga extend family, makanya saya tak lagi mengikuti perkembangan peristiwa tersebut secara langsung. Pada dasarnya saya lebih suka mengamati dan menganalisa motif dari affair tersebut. Biasanya saya hanya berperan sebagai pendengar yang baik. Kalau pas dicurhatin yaa.. saya dengarkan.. kalau pun tidak, saya tidak terus berusaha mencari info tambahan. Hidup saya sudah cukup rumit, masih saja ditambahin dengan mendengar urusan orang laen. Waduh.. bukan gaya saya sepertinya.. Kalau menurut saya, kondisi si suami melakukan affair, terlepas dari mungkin rasa suka pada pasangan affair-nya, saya merasa si suami merasa tertekan secara psikis dan material. Gaji yang terima sepertinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang semakin hari semakin meningkat. Belum lagi tekanan yang diterima ketika tinggal pada keluarga extended family. Saya sendiri yang merasakan hanya tinggal selama 3 bulan, mengalami tekanan yang sama, secara psikis memang tidak sehat untuk tinggal dalam suatu extended family. Tapi masalahnya, ketika sekarang ini keluarga dituntut untuk mencari nafkah keduanya, maka terpaksalah, tinggal dalam suatu keluarga besar menjadi alternatif selain menyerahkan pengasuhan anak pada pembantu. Berdasar studi M. Gary Neuman dalam buku The Truth About Cheating: Why Men Stray and What You Can Do To Prevent It, bahwa pria tidak akan berselingkuh hanya karena pasangannya tidak memberi kepuasan bercinta. Mereka berpaling karena semakin kurangnya aksi cinta seperti afeksi, telepon mesra, ciuman dan minimnya kualitas waktu berdua. Tanpa bermaksud membela kaum pria, wanita pun melakukan hal yang sama. Lack of emotional connection. Relationship itu butuh kerja keras. Satu-satunya cara yang akan menyelamatkan jalinan cinta yaitu dengan membangun penghalang untuk menyingkirkan ancaman “ketidaksetiaan”. Biasanya dapat ditempuh dengan penempatan persepsi, yaitu : 1. Tempatkan pasangan sebagai prioritas. Melihat kasus saudara ipar saya tersebut, memang tampak sekali ketika peran ekonomi istri lebih dominan, selain tingkat pendapatan yang memang lebih besar daripada pendapatan suami. Namun tidak seharusnya membuat suami mengesampingkan kebutuhan istri, dan malah mencurahkan cerita-ceritanya pada orang lain. Mungkin memang pada dasarnya cinta, namun cinta itu harus dijalankan dengan logika, bahwa sekarang ini sudah bukan saatnya lagi untuk membagi cerita pada orang lain. Urusan keluarga menjadi hal yang utama. Apa gunanya menikah jika tidak bisa menempatkan pasangan sebagai sahabat? Karena menurut saya, selain peran suami atau istri, cinta semakin lama akan berganti peran menjadi sayang, dan itu didapatkan dari rasa persahabatan dengan suami. 2. Pastikan bisa bicara saat apapun Saya berpikir, bila pasangan memang sejak awal haruslah nyambung. Gile ajah, ketika memutuskan untuk hidup bersamanya, terus ternyata pasangan kita bukanlah orang yang nyambung untuk diajak gaul, cerita, bercanda atau hal menyenangkan lainnya. Haduh, saya tak sanggup membayangkan. Hidup berkeluarga merupakan komitmen yang tidak bisa diajak kompromi untuk melaksanakan hal yang menyenangkan. Setiap keluarga selalu punya moment dimana kegembiraan merupakan hal yang wajib ada. 3. Pasangan perlu tahu sesuatu… yang selama ini kita tutup rapat-rapat. Kadang saya berpikir bahwa ada kalanya bahwa masa lalu merupakan hal yang perlu kita buang jauh dan kalau perlu, dilupakan. Misalnya kenangan pacaran bersama mantan pacar. Bagi saya, kalau memang saya ingin serius menjalani hidup dengan pasangan saya sekarang, lebih baik, lupakan kenangan dengan mantan pacar tersebut. Karena bila terus mengingatnya, yang ada justru saya akan membandingkan kondisi saat itu dengan saat sekarang ini. Tidak adil bagi pasangan sekarang ini, ketika sudah serius membangun komitmen bersamanya, namun masih saja membawa ingatan pada masa lalu. Bayangkan saja bila hal tersebut terjadi pada diri kita, ketika pasangan membayangkan kenangan masa lalu dengan mantan pacarnya. Sungguh menyakitkan. Jadi yang saya lakukan sekarang adalah membuang jauh, nomor telephon, akun FB dan twitter, alamat email, dan semua hal apapun yang berkaitan dengan mantan pacar. Karena pada dasarnya, saya bukan orang yang sanggup berdamai dengan masa lalu. Tipikal pendendam seperti saya ini, kadang memang butuh pemaksaan tersendiri agar saya bisa melupakan masa lalu. Memang butuh waktu untuk melakukan hal tersebut, namun demi kesehatan hubungan saya dengan pasangan dan mampu fokus pada masa depan anak-anak saya kelak, sepertinya langkah tersebut yang pas untuk saya lakukan. 4. Strategi saling mengisi Seperti layaknya sebuah team work, perasaan terhadap pasangan merupakan rasa afeksi yang menempatkan kekurangan sebagai ladang amal untuk menutupinya dengan kelebihan yang kita miliki. Makanya ketika awal sebelum menikah, bisa seharusnya diukur, dengan segala kekurangannya, apakah kita mampu memaklumi dan memberikan hal yang terbaik dari diri kita agar mampu mengisi kekurangannya. Memaklumi segala hal yang kadang mengesalkan, memang butuh kesabaran extra. Apalagi ketika mungkin saat pacaran, sudah terlihat tanda-tanda kita tidak mampu mengisi kekurangannya, alangkah lebih baiknya, bila dikaji lebih lanjut bila berniat berkomitmen lebih serius lagi. Alangkah menyeramkannya ketika kelak, saat telah menikah, ternyata kita tidak sanggup saling mengisi. Dampaknya akan berbeda ketika berpisah ketika pacaran dan atau ketika menikah. Karena menikah, komitemen itu tidak hanya datang dari kedua belah pihak yang menikah, melainkan melibatkan extended family. Ketika saya pindah dari extended family suami, rasanya memang lega dan menyenangkan. Bukan berarti saya merasakan kebebasan, namun lebih pada, saya tidak perlu lagi berakting dalam mengekspresikan gaya saya. Mau tiduran seharian, terserah saya. Mau tidak mandi, itu urusan saya dan bau badan saya, hehehe.. mau masak apa ajah, tidak ada yang komentar aneh. Mau berantem dengan suami, tidak perlu seluruh dunia tau.. Mau rumah berantakan, itu hak saya… hehehe..

New Things, New Hope

Move out to the other new place, episode pindah kontrakan gitu, membawa suasana jadi males ngantor lho. Entahlah, yang ada bawaannya pengen di rumah ajah. Mungkin karena masih terkena sindrom rumah baru, jadinya ketika di kantor, pengennya pulang terus. Di samping jarak antara rumah dengan kantor menjadi dekat, maka setiap istirahat dan setiap pulang kantor, disempatkan untuk singgah. Rasanya memang menyenangkan bisa lepas dari rutinitas kantor sejenak. Walaupun cuma 30 menit, kadang realisasinya bisa 2 jam sendiri..he..he..he.. maaf yaa HRD. Tapi ada bedanya ketika masuk ruangan kantor setelah selesai tidur siang. Kondisi badan saya yang memang semakin hari semakin lemah saja, kadang memang membuat saya jadi semakin malas bekerja di kantor. Rasanya memang ingin sekali sejenak berdiam diri di rumah. Entahlah, sindrom apa yang sedang merasuki saya sekarang ini, sehingga ketika sekarang ini mengerjakan pekerjaan kantor pun, rasanya tidak ada motivasi lagi. Mungkin fokus kehidupan yang berbeda, membuat saya semakin kehilangan motivasi untuk meniti karir di kantor. Dulu ketika masih semangat bekerja di kantor, rasanya pulang kantor terasa cepat sekali. Begitu sekarang ini saya rasakan, menunggu jam istirahat saja, sungguh lama sekali. Seiring dengan berjalannya waktu, saya baru menyadari bahwa konsekuensi ibu bekerja memang sangat kompleks sekali. Ketika di rumah dituntut untuk selalu memberikan pelayanan pada keluarga, di kantor pun masih dituntut untuk bekerja secara maksimal. Dulu saya tidak pernah membayangkan akan mempunyai perasaan seperti ini, mengingat kisah cinta yang tidak berujung dengan indah. Namun ketika sekarang saya menjalani kehidupan indah, maka betapa rasa syukur itu membuat segalanya menjadi ringan. Tuhan sedang mencoba saya dengan memberikan banyak kenikmatan, dari suami yang kocak, namun dengan kedewasaan yang kadang hanya orang-orang tertentu yang bisa memahaminya, tapi hanya dengan dirinya, saya mampu berekspresi tanpa takut untuk menyinggungnya. Memang berbeda dengan mantan-mantan pacar saya terdahulu. Inilah yang sekarang ini saya percayai, bahwa yang dinamakan jodoh berserah pada Tuhan, akan mendapatkan hal yang terbaik. Dengan segala keterbatasannya, suami memang berusaha mengimbangi jalan pikiran saya yang bisa dibilang gila ini. Perpindahan ke rumah baru, walaupun masih tetap dengan label rumah kontrakan, namun sanggup membawa hal baru bagi perkembangan kejiwaan saya, lebih jadi terasa menjadi ibu yang sesungguhnya. Kelak akan menjadi lompatan sejarah yang bagi saya, merupakan pengalaman hidup baru. Mungkin akan terasa seperti saat bekerja pertama dahulu. Feeling so good, begitulah. Untuk dilukiskan dengan kata-kata, rasanya begitu rumit. Begitulah berkah, menyemangati dengan baik untuk hal yang indah. Terimakasih suami, tetap berjuang bersama-sama.

Rabu, 09 Januari 2013

The Clown

Tidak ada salahnya memahami bahwa ketika hidup bersama-sama dalam suatu extend family seperti yang sedang saya alami sekarang ini, saya lebih banyak memahami wacana tentang pola pengasuhan anak saya kelak. Dulu saya menganggap bahwa adalah bodoh untuk membuat anak-anak itu tertawa, bertingkah hal-hal konyol untuk membuatnya terkekeh geli, sehingga saya selalu menganggap anak-anak bukan hal yang menarik untuk mengeksplore lagi. Cenderung melihat anak-anak adalah suatu hama, dimana saya lebih baik menyingkir untuk tidak terlibat lebih jauh, daripada saya pusing menyiapkan kekonyolan yang justru membuatnya nyaman. Namun melihat kenyataannya sekarang, saya tidak dapat lagi berpikir seperti itu lagi. Kehamilan memang membuat saya semakin tidak bisa berpikir dengan kapasitas independent dan keangkuhan pada ego yang selama ini membuat saya tampak tidak bisa menjadi dewasa. Layaknya Peterpan yang senang sekali untuk terjebak pada diri anak-anak. Begitulah jiwa saya, yang selama ini tidak bisa melepaskan ego menjadi dewasa secara kejiwaan. Mendadak dipaksa untuk melihat dunia tidak hanya berpusat pada diri sendiri, melainkan pada hal-hal kebersamaan yang begitu luas pengertiannya. Memahami kondisi bayi, psikologis suami, mertua dan saudara yang sebelumnya saya hanya punya seorang kakak yang sangat mengerti tentang keegoisan saya. Sedangkan sekarang saya dihadapkan pada suatu kondisi yang kadang diluar pikiran saya untuk melihatnya sebagai pengalaman hidup yang sebelumnya tidak saya alami. Untung suami bukan tipikal orang mengharuskan saya berlaku sebagai istri yang selayaknya normal istri pada umumnya. Saya masih diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sebagaimana yang saya mau. Kemungkinan lain adalah bahwa saya memang mempunyai mekanisme pertahanan kewarasan yang luar biasa. Dalam hal ini adalah saya membuat kenyamanan sendiri dalam dunia saya sendiri. Dalam pemikiran yang hanya saya sendiri yang menempati ruang dan waktu yang saya ciptakan sendiri. Menggelikan memang. Namun cara penghiburan saya memang begitu itu. Tinggal di kota yang tertinggal sarana pengetahuannya, harus membuat saya lebih kreatif lagi untuk menghibur diri dan mensiasati kondisi. Betapa saya iri jika kota-kota di Jawa menyelenggarakan books fair, job hunting dan hal menarik bagi saya lainnya. Entahlah, untuk bisa meninggalkan hal-hal menyenangkan di masa lalu, saya masih belum sanggup. Ada pepatah yang menyatakan bahwa jangan memikirkan hari esok, jalani saja. Namun kadang sering dengan bodohnya saya membayangkan tentang betapa ribetnya bila kelak saya telah melahirkan dan merawat anak. Bersikap intergral untuk dengan segera mempersiapkan keperluan anak dan suami. Gile bener, sepertinya kecerdasan saya harus lebih mampu berakrobat pada kondisi tersebut. Kedisiplinan, ketekunan, kerja keras dan ketrampilan lainnya, sebaiknya dipelajari secara singkat dan cepat. Being a good learner ajah deh..

HERE I AM

Ini tulisan lama sih. Tapi kayaknya sayang untuk tidak ditampilkan. Jadinya yaa.. begini ini. Sometimes a bad things can happens to us without we could deny it. Acctually, I believe many things happened to me because a reason. I believe there is no coinsidens. Perhaps it could be make me strong, more confidens if any other bad things could be happen next. Maybe worst. But I wish there is nothing something worst happend to me. Begitu juga dengan kejadian beberapa bulan belakangan ini, pregnancy. Something that I could not imagine about the feeling. Maybe the hiperemesis it come from my dirty mine. Not about imagine the good future, kadang mungkin saya terlalu jauh untuk membayangkan tentang masa depan si bocah yang sedang saya kandung. Kocak sih, lahir ajah belum tapi saya sudah pusing memikirkan dimana nanti dirinya akan sekolah. TK mungkin akan saya masukkan ke TK agama. SD kalo ada yang bagus, mungkin saya masukan ke SD yang sekiranya bisa diandalkan untuk membentuk karakter si bocah. Mungkin tidak disini. Kota terpencil dimana sarana pendidikan masih minim sekali. Bahkan kemarin, bercakap-cakap dengan anak kelas 3 SMA, kasta ajah tidak tahu. Please, pendidikan macam apa ini. Ketika mungkin dalam kandungan sudah saya selalu dengarkan hal-hal yang berbau bahasa inggris. Setidaknya kelak ketika dirinya lahir, sudah tidak asing lagi dengan bahasa asing. Pusing kalau tidak bisa menguasai hal-hal dimana think globally, act locally sudah menjadi hal yang digembar-gemborkan sejak lama. Betapa sayangnya ketika seorang anak hanya terkungkung pada suatu hal yang monoton, hanya karena ayah dan ibu nya tidak mampu memberikan pendidikan dasar yang bisa membekali dirinya kelak untuk mandiri. Saya saja sekarang masih pusing untuk bagaimana caranya meningkatkan kemampuan saya agar tetap bisa belajar pada hal-hal baru. Yang saya lakukan baru sebatas mengajar saja, itupun sudah cukup mampu membuat saya tergerak kembali membuka buku pelajaran dan memaksa memori saya membuka catatan lama pada pelajaran yang saya ajar tersebut. Menyenangkan sih. Saya bahkan lebih bergairah untuk mengajar daripada untuk berkantor kembali. Damn, bukan hal yang sehat sih sebenarnya, ketika orang-orang kantor sibuk dan menjadi gila dengan tuntutan pekerjaan. Passion mengajar memang lebih menarik saya. Namun secara financial, saya tetap belum sanggup berpisah dengan gaji dari kegiatan kantoran. Sungguh ironi sekali. Ketika pendidikan merupakan hal kebutuhan dasar yang membuat orang dapat membentuk pola pikir yang lebih baik. Saya masih berputar pada zona nyaman saya. Parah sih. Tidak bisa konsisten dalam menjalankan hasrat untuk berguna menjadi lebih baik. Sometimes, it’s make me bore. Pertarungan untuk menjadi berguna bagi banyak orang, bercampur dengan kebutuhan diri akan prestise, diginity and self esteem. Konyol sekali, ketika saya masih saja iri dengan teman-teman di Jakarta yang masih bisa mengejar karir dengan meninggalkan anak pada pembantu atau orang tua. Padahal saya percaya pada pengalaman saya bahwa segalanya akan menjadi terarah bila diurus diri sendiri. Like my mom could handled everything with her own. The only I proud with her. Mungkin itulah yang mendasari pemikiran saya sekarang untuk tetap berada di rumah. Namun tetap memikirkan kira-kira usaha apa ya, yang mampu dilakukan di rumah. Membuat sesuatu ajah saya tidak bisa. Memasak bukan keahlian saya. Bisanya cuma masak mie instan dan air. Menyedihkan sekali bukan. Bukan menjadi hal bisa dibanggakan. Kadang saya sempat mikir, pola pikir yang bagaimana lagi yang bisa saya lakukan untuk mengubah rasa malas saya belajar memasak, padahal kedua ibu saya, baik ibu kandung dan ibu mertua merupakan jago masak semua. Sungguh memalukan bagi saya yang hanya bisa mengandalkan kepintaran untuk bekerja di kantor. Sedangkan kelak, waktu saya rencananya akan habiskan di rumah. Sungguh merupakan hal yang kadang membuat saya stress juga. Mungkin benar kata suami saya, bahwa saya mungkin terlalu banyak berpikir. Ini saja saya udah mikir lagi loh. Ampun deh. Kenapa saya memutuskan untuk melahirkan di Jogja, karena kondisinya tidak memungkinkan kalau saya sendirian di Merauke. Karena berdasarkan pengalaman saya opname kemarin, saya hanya ditemani suami untuk menyelesaikan semuanya. Peran keluarga suami tidak banyak, bahkan cenderung tidak peduli. Bahkan ketika saya diungsikan untuk tinggal sementara di rumah mertua, ya sehari-hari saya menjalaninya sendirian. Saya menyadari kok bila mereka semua sibuk, dengan kegiatan warung. Ya sudahlah, semakin memantapkan diri untuk mudik semakin kuat. Ibu saya masih bisa diandalkan untuk menemani saya walaupun segudang aktifitasnya di kelurahan. Sedangkan fase melahirkan merupakan hal yang paling krusial untuk didampingi. Mengandalkan suami, seperti juga tidak mampu karena kesibukannya di kantor. Jadi ya, lebih baik saya mengandalkan diri saya sendiri untuk bisa menyelesaikannya sendiri. Salah satunya, mengandalkan ibu kandung saya sendiri. It’s much better. Kadang sempat mikir bahwa keluarga disini walaupun tampak perhatian, namun sesungguhnya memang hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk bisa menghadapi semuanya. Semuanya sibuk untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Ya wajar sih, mau gimana lagi, kembali pada konsep taken granted. Menerima apa adanya menjadi bagian yang paling masuk akal menurut saya disaat sekarang ini. Begitulah kondisinya bila memikirkan hal-hal ke depan. Tuh kan, kembali saya berpikir lagi. Padahal suami bilang, saya dilarang kebanyakan mikir lagi. Tapi gimana ya, susah untuk tidak mikir sih. Kalau hanya mengandalkan hanya menjalani tindakan saja, rasanya kok saya menjadi bodoh. Padahal saya sangat suka mengandalkan pikiran saya dalam menghadapi apapun. Seperti rencana saya untuk memutuskan menjadi dosen. Cuma kapan ada lowongan ya? Masih menunggu juga sih, salah satu batu loncatan saya untuk mencapai S2. Lumayan sih, siapa tahu bisa dapat beasiswa untuk kesitu. UGM, IKIP atau apa gitu. Apa saja, yang penting sekolah lagi, karena saya suka sekali belajar. Yaa, pokok nya tetep selalu semangat berdoa, pasti akan ada kejadian-kejadian tidak terduga yang bisa mendukung niat baik. semangaattt yuk..

Selasa, 08 Januari 2013

Brand New Day

Yup, begitulah, ketika sekarang ini emang muncul anggota baru dalam keluarga kami. New baby born, muncul di awal tahun, sete lah di tahun 2012, membuat saya kudu tyepar dengan sukses di RS. but, finally, coming to world. Yang penting sehat dan selamat..hehehe..