Rabu, 30 November 2011

Self Control

Entah darimana datangnya rasa untuk selalu ingin membeli barang diskon, ato barang bagus ketika di outlet. Saya sendiri kadang sering tidak tahan untuk melihat barang bagus tersebut, apalagi ditambah dengan harga diskon. Atau barang yg laen, seperti BB. Semua barang elektronik, menurut saya pada akhir nya akan mencapai titik harga yg semakin turun. Kadang saya jg makin bingung, ketika BB mungkin fasilitasnya dibanding alat komunikasi yang laen, BBM ajah. Sudah. selebihnya bergantung pada kepiawaian sang pemilik untuk menambah aplikasi dari BB tersebut. Kalaupun ada yang tertarik dengan BB baru, please deh, wong fungsi nya sama loh. Mending tunggu sampai harganya agak miring, trus baru beli. Lha klo sampai harus mengorbankan diri untuk beli dengan harga diskon trus mendapat kejadian konyol. Waduh, hidup ini lebih indah daripada hanya sekedar antri beli BB. Mungkin inilah gaya sebagian orang-orang yang merasa hidupnya akan lebih lengkap dengan BB baru. Mungkin merasa bahwa BB baru ini bisa membuat hidupnya lebih berwarna. Tidak semua orang bisa merasa bahwa dengan BB nya yang sekarang ini, sudah cukup melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Mungkin mereka masih butuh sesuatu yang mampu menggairahkan hidupnya. alhasil, mereka dengan sukarela antri untuk beli BB dengan harga diskon demi mencapai tujuannya. entah demi gengsi, biar dianggap tidak gaptek ataupun yang laennya. Ini pernah saya alami ketika saya melihat sebuat Tas ransel merk elizabeth. Harganya sekitar 300ribuan. Kebetulan saya sangat menggemari tas ransel. Yang saya lakukan, saat timbul keinginan membelinya, saya bertanya, "Apakah dengan membelinya, akan meningkatkan pendapatan saya?" karena kadang ada juga yang membeli tas sebagai investasi. Langkah selanjutnya, saya kembali menengok tas ransel saya yang bertumpuk di lemari. Kemudian saya berpikir, tas elizabeth itu, jika saya beli, pasti nasibnya akan sama juga. Jadi saya putuskan untuk tidak membelinya. Mungkin tas itu akan lebih baik bila bersama dengan orang yang mampu memperlakukan secara layak. Saya tidak bermaksut mencontohkan perbuatan saya. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa ternyata, kita sanggup kok mengendalikan diri, disertai dengan niat kuat untuk mengelola rasa ingin memiliki. Banyak hal laen yang masih bisa kita lakukan lebih dari sekadar menuruti keinginan. Kecuali emang diri kita udah bener2 menjadi milyader dan bisa mengalokasikan uang secara benar. Yaaa.. bebas ajah deh..

Senin, 14 November 2011

You don’t know what you’ve got, until it’s gone

Pada suatu ketika, saat tiba masanya, segala sesuatu harus kita jalani sendirian. Menapaki waktu tanpa teman dan orang-orang yang menyayangi kita. Ketika temaram malam, seakan selalu mengiringi langkah. Gelap, mengharap seberkas sinar bulan dapat menembus pekatnya malam. Berharap mampu menemukan jalan untuk pulang dalam kehampaan yang sangat. Mendengungkan dalam pikiran, bahwa semua akan baik-baik saja. Mengafirmasi diri sendiri, bahwa esok pasti mentari akan membagi sinarnya. Menumbuhkan bunga dan seisi alam semesta. Kelelahan dalam menekuni konsekuensi modernitas, kadang membuat semangat berusaha meredup. Jiwa yang terpanggang nafsu, membuatnya semakin lupa untuk menemukan oase mimpi yang mampu menebus dahaga pengetahuan yang selama ini mongering tertelah kepongahan rutinitas. Berdiri dalam masa yang jenuh dengan hal-hal yang absurd. Merindu sesuatu yang dulu pernah singgah di hati. Mengingat sesuatu indah yang entah telah berapa lama ditinggalkan. Hal-hal kecil yang dahulu terasa sangat biasa, ketika sekarang menjadi sesuatu yang paling dipuja untuk memenuhi kenangan. Berkah tersendiri ketika manusia memiliki memory yang luar biasa besar untuk mengingat kenangan indah. Kadang membuat sesuatu terkesan lebih bermakna. Beruntunglah ketika dahulu, menikmati segala hal dengan baik. Masa lalu yang begitu penuh warna sehingga ketika sekarang ketika hidup masing-masing, kenangan yang berwarna pula yang selalu akan tetap indah. Bersyukur ketika kelak mampu bercerita tentang hal-hal yang penuh warna itu pada generasi seterusnya. Mengisahkan hal-hal yang membuat mereka seharusnya menjadi tanda alarm ketika hendak melangkah kelak. Masalahnya hanya karena kita lahir lebih dulu, jadi ketika kita akan menjadi pencerita yang hebat juga, jika kita punya cerita hebat yang pernah kita tahu sebelumnya. hanya menggurui, cukup hanya menjadi pencerita, dan biarkan mereka yang akan mengambil kesimpulan. Kadang kesalahan kita sebagai orang tua, karena terlalu memandang remeh anak-anak muda tersebut sehingga seakan-akan kita lah yang benar. Padahal ini hanya masalah lebih dulu lahir. Mungkin hal-hal indah tersebut akan menjadi tetap indah ketika hanya berupa kenangan. Kadang reuni memang cukup mampu menepis romantisme masa sekarang. Mengulas senyum ketika kilasan gambar tentang kenakalan yang pernah dilakukan. Mungkin seharusnya memang begitu, memuaskan hasrat ketika masa muda masih bisa dijangkau. Dan selesai ketika tiba pada masanya usai. Titik dimana pada akhirnya kita harus membagi kesempatan untuk memikirkan diri sendiri dan konsentrasi pada hal-hal selain ego.

The Other Side of Story

“Sahabat mungkin akan pergi, tetapi persahabatan tidak akan pernah hilang”
Begitulah dulu saya pernah mendengar sesuatu kalimat yang disampaikan secara tidak sengaja oleh teman saya. Ketika itu akhir di masa kuliah, sekitar semester setelah menjelang skripsi usai. Saat berkumpul di perpustakaan pusat untuk menyerahkan bendelan skripsi sebagai syarat pengurusan gelar kesarjanaan di gedung rektorat. Berkumpul hanya dengan sahabat dekat yang sebentar akan berpisah, kembali ke tempat atau kota asal masing-masing. Mencoba merajut masa depan. Bagi yang memiliki IP lumayan tinggi, tentunya ada sedikit kebanggaan, mampu mencari pekerjaan atau bahkan mampu menciptakan pekerjaan. Bagi yang selama ini sudah bekerja, tinggal melanjutkan sedikit langkah untuk mendapatkan kehidupan yang semestinya. Kami lulus sekitar periode tahun 2003-2004. Sehingga detik ini, hanya tersisa segelintir orang yang bisa berkomunikasi. Baik melalui jejaring social, sms ataupun media lainnya. Sungguh mengharukan ketika sekarang saling bercerita tentang kondisi masing-masing. Keadaan yang sudah berkeluarga. Saling bercerita tentang suami, anak,ataupun keadaan diri sendiri yang penat dengan pekerjaan ataupun hal yang lain. Bercerita tentang mantan pacar dulu yang sekarangpun mungkin sudah berkeluarga dengan orang lain. Kadang ketika di facebook muncul tagging foto-foto jadul, sangat terasa kerinduan yang menyeruak muncul, “apakabar dia sekarang?” “bagaimana kondisinya sekarang?” Mendoakan hal-hal yang baik, menjadi obat yang menyenangkan untuk sekedar mengurangi rasa rindu tersebut. Teman-teman yang dahulu menjadi rekan seperjuangan di masa kuliah, kini sibuk memperjuangkan keadaan masing-masing. Apalagi dulu ketika saya belum menikah, dan berteman dengan teman-teman yang telah menikah. Kadang merasa aneh, belum menemukan pasangan yang tepat dan mereka selalu bertanya, “Kapan kamu menikah?”. Ironi yang tidak akan pernah selesai ketika sekarangpun, ketika selesai menikah, saya kembali ditanya, “Kapan punya anak?” pertanyaan yang tidak akan pernah bisa selesai terjawab. Tapi sungguh, kebersamaan itu tidak akan pernah bisa digantikan. Rasa indah yang selalu akan ada dalam setiap perjalanan hidup masing-masing dari kita yang dulu pernah bersama. Ketika sekarang, kita sudah semakin tua dan sibuk dengan urusan pribadi, akan selalu ada hal yang membuat saya selalu merindukan setiap detik kebersamaan. Perubahan yang terjadi, memang berlaku natural, seiring dengan bergantinya waktu. Teman sejati tidak akan pernah bisa melupakan hal yang indah. Bila sekarangpun telah berubah, maka sebenarnya hanya pergantian masa disaat cerita lain sedang berlangsung. Maka akan ada cerita lain disisi sebaliknya. Sahabat yang tidak sengaja mengingat ulang tahun sahabatnya, mungkin hanya hal sepele. Namun bagi sahabatnya tersebut merupakan hal yang sangat penting. Merindu teman-teman lama tidak akan pernah usang untuk diceritakan. Kenangan indah yang akan selalu terpatri dalam relung hati. Saat sekarang, kesibukan memang merentangkan jarak bagiku dan bagimu, namun bertemu dalam mimpi kadang cukup membuat cerita itu akan tetap selalu ada. Andaipun dirimu yang nun jauh disana, tetaplah dekat dalam hatiku. Bila dirimu telah tenang disana, tetapkan hidup dalam imaji kenangan kebersamaan yang tidak akan pudar

Kamis, 27 Oktober 2011

Waiting For

Sebenarnya kejadiannya simple saja. Ketika saya sedang menunggu untuk pelaksanaan tes masuk calon pegawai suatu perusahaan. Ada 12 peserta yang menjadi saingan saya untuk masuk di perusahaan tersebut. Sudah lama saya tidak belajar untuk melamar pekerjaan. Belajar soal-soal psikotes, TPA dan bahasa Inggris. Sungguh merupakan hal yang luar biasa, ketika saya kembali merasakan gairah luar biasa untuk mendapatkan sesuatu. Mungkin pada dasarnya, saya menyukai kompetisi. Hal-hal persaingan yang memunculkan sisi sikap terbaik yang dimiliki dalam diri kita. Berbuat sebaik mungkin. Namanya juga usaha, berusaha semaksimal dulu, walaupun akhirnya emang masih gagal, ya udah, setidaknya emang itu hasil dari usaha kita. Kudu emang lebih keras berusaha. Dari 12 peserta, tersisa 4 orang saja, termasuk saya. Namun pada akhirnya, saya tidak lolos masuk ke tahapan wawancara. hi..hi..hi.. perlu diketahui, bagi saya, itu merupakan prestasi. Prestasi mengalahkan rasa malas keluar dari zona kenyamanan. Terakir saya melamar kerja yaa... 3 tahun yang lalu. Bagi saya, butuh keberanian juga untuk melamar pekerjaan lagi. Sekarang pun, ketika saya punya dua pekerjaan sekaligus, rasanya juga menyenangkan. Mampu menumbuhkan semangat lagi pada pekerjaan utama saya. Alhamdulillah ya... sesuatu banget.. hahaha..

Selasa, 20 September 2011

the other HP

Tes..tes..semoga bs terbaca. Klo tbaca,artiny emg ga perlu lebih repot. Walau kadang repot itu sedikit perlu..

Rabu, 27 Juli 2011

Emansipation

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja melihat tayangan sebuah infotainment di televisi. Tayangan itu sedang menampilkan wawancara dengan salah satu diva terkenal Indonesia yang berbahagia dengan perkawinan keduanya. Tentunya tayangan ini pun ditonton oleh berjuta masyarakat yang pada saat sekarang ini selalu tergila-gila dengan info tentang orang lain. Misalnya peristiwa seorang pesohor dari kalangan kepolisian hanya dengan cara simple yang semua orang biasa lainnya bisa lakukan. Hanya dengan moment yang tepat, bisa memutar balikan jalan hidup seseorang. Saya saja sampai kesulitan melepaskan berita tentangnya. Karena setiap berpindah channel, setiap kali itu pula, info tentang anggota kepolisian tersebut muncul. Kembali pada cerita tentang diva tadi. Salah satu segmen curhatnya, ketika ditanya oleh pewawancara, “Lalu bagaimana dengan karir mbak X, selanjutnya? Apakah akan tetap melanjutkan karir menyanyi atau tidak?” jawaban sang diva, “Saya bersyukur, suami saya masih mengijinkan saya untuk tetap menyanyi. Mungkin saya hanya tidak mengambil job di akhir pekan. Sehingga waktu saya bersama keluarga lebih banyak.” Menurut saya, cukup gawat juga pernyataan sikap seperti ini. Kembali mengambil resiko menjadi public figure yang menjadi tontonan jutaan orang. Kadang sikap pun cukup bisa menjadi tiruan bagi penggemarnya. Alangkah baiknya jika sikap yang ditampilkan pada khalayak merupakan sikap yang baik-baik secara normative.
Suami memang merupakan kepala keluarga yang harus menjadi leader yang baik. Namun bukan mutlak, mampu menjadi acuan arah perjalanan keluarga. Ada peran istri yang menjadi co-pilot. Ketika seorang istri memutuskan untuk bekerja, tidak berarti harus menunggu respon suami. Selama bekerja itu merupakan sikap ekspresif istri. Ketika abad sekarang, dimana wanita semakin bisa eksis dengan karya-karyanya, tentunya para suami akan lebih menghargai istri yang mandiri. Kemampuan untuk bekerja, merupakan sikap kuasa istri terhadap pendapatnya sendiri. Jika kebutuhan sekarang semakin tinggi, wanita tidak seharusnya hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik saja. Tidak selamanya, suami mampu menyediakan segala sesuatunya menjadi sempurna. Bekerja memang merupakan ekspresi. Tidak mutlak dilakukan jika suami mampu menanggung semua hal untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Zaman nabi saja, sudah dicontohkan, kemandirian wanita merupakan sarana yang baik untuk mendukung eksistensi keluarga. Dari mulai Khadijah sampai Aisyah, merupakan wanita-wanita cerdas yang tidak hanya saja mendampingi suami, tetapi tetap melakukan pekerjaan yang mampu menjadikan mereka wanita mandiri. Jadi bekerja merupakan hak wanita. Tak perlu menunggu ijin suami. Kalau suami yang mempunyai wawasan luas dan bijaksana, tentunya akan bangga ketika istrinya mempunyai kemandirian. Karena pada dasarnya suamilah yang diuntungkan, setidaknya bebannya menafkahi keluarga, agak lebih ringan. Jika pengertian bekerja adalah pegawai, dan suami menjadi lebih repot karena posisi istri lebih tinggi darinya. Sebaiknya usaha lebih keras lagi menundukkan ego yang tidak mau kalah dengan istrinya. Jika istri bekerja di rumah, alangkah baiknya jika suami mengerti tentang betapa repotnya mengasuh anak dan bekerja sekaligus. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan secara sehat. Istri yang hanya sibuk mengurus kegiatan domestik rumah tangga, kecenderungannya tidak mampu mengimbangi pemikiran suami yang bekerja di luar rumah. Informasi diterima suami, akan mempengaruhi pola pikirnya. Jika istri yang aktif, tentunya kecerdasannya pun akan terus terasah sehingga mampu mengimbangi pemikiran suami. Karena istri mampu memahami suami dan sebaliknya.

Everybody Can Cook


Bagi saya, mungkin ini merupakan hal yang luar biasa. Sepanjang umur saya, hingga beberapa waktu lalu. Saya tidak pernah memasak makanan dengan berdasar pada racikan bumbu saya sendiri. Biasanya saya cuma berperan sebagai asisten koki. Misalnya memotong sayur, mengupas bumbu atau mengaduk adonan. Baru setelah saya mempunyai tempat tinggal sendiri, saya baru mempunyai keberanian untuk membuat masakan saya sendiri. Pada awalnya saya berdasar pada rasa yang selama ini saya makan. Thank’s to God, bahwa selama ini, lidah saya terbiasa dengan masakan ibu dan kakak perempuan saya yang memang sangat jago memasak. Dulu, sewaktu saya masih single, memasak merupakan momok tersendiri. Saya selalu ketakutan untuk hidup sendiri, karena kekurangan saya, tidak bisa menyediakan makanan. Sedangkan untuk membeli, artinya saya masih ketergantungan pada penjual makanan. Sebagai anak kost yang benar-benar jauh dari orang tua, kadang ada rasa kekhawatiran ketika penjual makanan tutup, maka saya akan mengalami kesulitan. Kelak pun, saya pasti harus berhadapan dengan bumbu dan berbagai macam hal nya tersebut. Maka mulailah saya memberanikan diri untuk memasak. Tentunya dengan bekal telephon kakak perempuan saya, karena jika saya telephon ibu, pasti nya saya kena omelan nya. Waduh, mending mencari aman saja. Kakak perempuan saya, sungguh dengan sabar mengajari adik perempuan nya yang tidak begitu cerdas ini untuk memperkirakan bumbu-bumbu. Resep sederhana mulai saya coba, yang penting, rasanya sudah terasa masuk akal. Pasti saya anggap masakan itu sukses. Sungguh tidak terkira rasa bersyukur saya, bahwa selama ini, saya mempunyai ibu dan kakak perempuan yang memanjakan saya dengan masakan yang enak, sehingga ketika sekarang, saya hanya mengira rasa masakan yang pernah saya makan dulu. Hasilnya tidak mengecewakan. Sirloin steak saya, cukup membuat orang lain yang merasakan mengatakan cukup enak. (entah mereka bilang dibawah tekanan atau memang karena perasaan tidak enak pada saya) hi..hi.. yang jelas, sejak saat itu, saya menemukan keasyikan baru, untuk lebih banyak mencoba masakan yang biasanya saya kudu merayu ibu atau kakak saya untuk membuatkan makanan yang saya ingin. Sekarang, setidaknya saya mampu membuatnya sendiri, walaupun harus melalui perjuangan panjang. Yang penting, saya belajar mandiri seutuhnya. Jika ingin mencoba masakan yang baru, saya bisa mendapatkan resep nya di internet atau majalah. Sekarang, saya menyadari betapa memasak mempunyai rasa keasyikan tersendiri yang berbeda dengan kesenangan saya yang lain. Acara favorit saya di televisi, selain film kartun, sekarang acara master chef, chef ala dan masih banyak acara masak-memasak lainnya. Apalagi pelan-pelan saya mulai mengumpulkan peralatan masak. Walau hanya sederhana, namun cukup dapat memuaskan rasa yang biasanya dengan mudah saya terima, karena di tempat kelahiran saya, semuanya serba tersedia. Sedangkan saya disini, ketika semua makanan tidak semua dapat saya nikmati secara mudah. Maka saya harus membuatnya. Not bad lah.. walau yang bilang enak, cuma saya sendiri.

Minggu, 03 Juli 2011

Ini kali ptama saya entri blog dr hp saya. Semoga bisa tliat,krn emg br mcoba

Selasa, 24 Mei 2011

Original Taste



Hidup di daerah perantauan yang notabene hampir bertolak belakang dengan kebudayaan asal, kadang sering menimbulkan kerinduan tentang hal-hal yang berbau kampung halaman. Bahkan termasuk saya yang terbiasa hidup di berbagai tempat. Seiring dengan berlalunya waktu, ketika saya jauh dari daerah asal saya, sering pula merindukan makanan asal yang jarang dijumpai di tempat tinggal saya sekarang. Dari mulai, gethuk tiga warna, keripik belut, gudeg ceker dll. Kebetulan saya berasal dari suku jawa. Hidup merantau kadang membuat romantisme masa lalu menjadi sebuah perenungan tersendiri. Salah satu yang tiba-tiba muncul di kota tempat tinggal saya sekarang ini, adalah wedang ronde. Sesuatu yang terakhir kali saya nikmati ketika sedang berada di kota kelahiran saya. Nun jauh di pulau Jawa. Wedang ronde merupakan minuman yang menggunakan bahan air jahe. Sedangkan ronde merupakan campuran ketan yang diberi gula. Toping nya biasanya menggunakan buah kolang-kaling, kacang sangrai, bisa juga ditambah dengan agar-agar. Ketika berada di kota kelahiran saya, justru saya tidak menyukai minuman ini, walaupun minuman ini menjadi favorit ibu dan ayah saya. Namun ketika berada di perantauan seperti sekarang ini, makanan inilah yang menjadi sekadar pengobat rindu pada ibu dan bapak saya. Jadi ketika saya melihat penjual wedang ronde, terasa semangat untuk menikmatinya. Hal yang paling unik, adalah sesama pembeli, merupakan semua orang yang pernah merasa tinggal di Jawa. Ketika mulai mengenalkan pada anak-anak mereka. Terasa saya menyaksikan turunan budaya. "Pasti kamu nggak tau, minuman ini" kata seorang ibu pada anaknya. Anak itu hanya senyum-senyum saja. "Ini terlalu pedas" jawab sang anak, sambil mengibaskan tangannya di depan mulutnya. Yaaa, dialog yang membuat saya miris. Bilamana kebudayaan tidak akan terjaga baik, bila tidak ada penjaga kebudayaan yang tidak bisa menurunkan budaya secara baik. Apalagi ketika budaya global semakin bisa menggerus kebudayaan nenek moyang kita sendiri. Betapa sangat mengenaskan. Bagi saya dan suami yang kebetulan juga mengetahui beberapa kultur Jawa, memang merasa sedikit kesulitan jika harus berhadapan dengan budaya luar. Untuk menjaga rasa kedaerahan, walaupun hanya berdasar pada minuman saja. Sudah cukup mampu membuat romantisme masa lalu sedikit bisa terasa kembali.

Kamis, 12 Mei 2011

Flying with the Wings



Terakhir saya melihat burung-burung yang berkelompok terbang di langit senja. Mungkin sekitar 100 ekor lebih yang saya liat di kota kelahiran saya, sekitar akhir tahun 80-an, di Jawa. Saya mengingatnya dengan jelas, ketika saya masih umur 8 tahun tersebut ditunjukkan oleh ayah saya. Romantisme masa lalu yang setelah berlalunya waktu, kemudian saya melupakannya. Polusi yang semakin meningkat, ataupun perburuan burung-burung, mungkin membuat burung-burung itu tak lagi bisa terbang secara berkelompok pada sore hari. Selain itu, semakin saya sibuk dengan kegiatan sekolah, hingga bekerja sekarang ini. Saya sepertinya lupa dengan keindahan sore hari. Apalagi sekarang, rutinitas yang membosankan. Pulang bekerja saja, justru saat hari selesai gelap. Melihat matahari pagi dan petang saja, sudah lupa bagaimana bentuknya. Jiwa saya kembali terkenang pada peristiwa masa kecil indah itu, *thank’s to God. Give me fabulous childhood. Hingga suatu saat, saya melihat burung-burung itu kembali, ditempat saya bekerja sekarang. Nun jauh di ujung timur Indonesia. Jauh dari tempat kelahiran saya di Jawa. Ketika manusia, hutan dan laut masih saling bersahabat. Saya kembali menemukan burung yang terbang berkelompok tersebut. Betapa hal yang cukup mengharukan bagi saya. Mungkin bagi masyarakat disini, hal tersebut merupakan hal yang biasa saja. Bahkan kecenderungannya tidak begitu peduli. Karena memang hal tersebut bukan yang menarik untuk diliat. Sungguh mengesankan..

*courtesy by Yanthi Hotriana, burung di pantai kumbe, Merauke, Papua

The other side of story

“Sahabat mungkin akan pergi, tetapi persahabatan tidak akan pernah hilang”
Begitulah dulu saya pernah mendengar sesuatu kalimat yang disampaikan secara tidak sengaja oleh teman saya. Ketika itu akhir di masa kuliah, sekitar semester setelah menjelang skripsi usai. Saat berkumpul di perpustakaan pusat untuk menyerahkan bendelan skripsi sebagai syarat pengurusan gelar kesarjanaan di gedung rektorat. Berkumpul hanya dengan sahabat dekat yang sebentar akan berpisah, kembali ke tempat atau kota asal masing-masing. Mencoba merajut masa depan. Bagi yang memiliki IP lumayan tinggi, tentunya ada sedikit kebanggaan, mampu mencari pekerjaan atau bahkan mampu menciptakan pekerjaan. Bagi yang selama ini sudah bekerja, tinggal melanjutkan sedikit langkah untuk mendapatkan kehidupan yang semestinya. Kami lulus sekitar periode tahun 2003-2004. Sehingga detik ini, hanya tersisa segelintir orang yang bisa berkomunikasi. Baik melalui jejaring social, sms ataupun media lainnya. Sungguh mengharukan ketika sekarang saling bercerita tentang kondisi masing-masing. Keadaan yang sudah berkeluarga. Saling bercerita tentang suami, anak, ataupun keadaan diri sendiri yang penat dengan pekerjaan ataupun hal yang lain. Bercerita tentang mantan pacar dulu yang sekarangpun mungkin sudah berkeluarga dengan orang lain. Kadang ketika di facebook muncul tagging foto-foto jadul, sangat terasa kerinduan yang menyeruak muncul, “apakabar dia sekarang?” “bagaimana kondisinya sekarang?” Mendoakan hal-hal yang baik, menjadi obat yang menyenangkan untuk sekedar mengurangi rasa rindu tersebut. Teman-teman yang dahulu menjadi rekan seperjuangan, kini sibuk memperjuangkan keadaan masing-masing. Apalagi dulu ketika saya belum menikah, dan berteman dengan teman-teman yang telah menikah. Kadang merasa aneh, belum menemukan pasangan yang tepat dan mereka selalu bertanya, “kapan kamu menikah?”. Ironi yang tidak akan pernah selesai ketika sekarangpun, ketika selesai menikah, saya kembali ditanya, “kapan punya anak?” pertanyaan yang tidak akan pernah bisa selesai terjawab. Tapi sungguh, kebersamaan itu tidak akan pernah bisa digantikan. Rasa indah yang selalu akan ada dalam setiap perjalanan hidup masing-masing dari kita yang dulu pernah bersama. Ketika sekarang, kita sudah semakin tua dan sibuk dengan urusan pribadi, akan selalu ada hal yang membuat saya selalu merindukan setiap detik kebersamaan. Perubahan yang terjadi, memang berlaku natural, seiring dengan bergantinya waktu. Teman sejati tidak akan pernah bisa melupakan hal yang indah. Bila sekarangpun telah berubah, maka sebenarnya hanya pergantian masa disaat cerita lain sedang berlangsung. Maka akan ada cerita lain disisi sebaliknya. Sahabat yang tidak sengaja mengingat ulang tahun sahabatnya, mungkin hanya hal sepele. Namun bagi sahabatnya tersebut merupakan hal yang sangat penting. Merindu teman-teman lama tidak akan pernah usang untuk diceritakan. Kenangan indah yang akan selalu terpatri dalam relung hati. Saat sekarang, kesibukan memang merentangkan jarak bagiku dan bagimu, namun bertemu dalam mimpi kadang cukup membuat cerita itu akan tetap selalu ada. Andaipun dirimu yang nun jauh disana, tetaplah dekat dalam hatiku. Bila dirimu telah tenang disana, tetapkan hidup dalam imaji kenangan kebersamaan yang tidak akan pudar.

SOULMATE



Dulu saya pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang pria sewaktu pada masa kuliah. Jatuh cinta yang membuat saya berpikir bahwa seperti nya dialah yang mampu menjadi teman sejati saya. Hingga beberapa lama, mungkin tidak mudah mengganti cinta saya pada pria tersebut. Namun karena banyak sebab, saya dan dia tidak bisa menikah. Padahal saya dan dia sama-sama saling mengerti bahwa diantara saya dan dia, memang saling mencintai. Hal yang paling unik, bahwa hubungan batin ini, sangat lah dekat sekali. Banyak sekali kebetulan yang membuat saya yakin, bahwa pria inilah teman sejati saya. Banyak hal yang dipikirkan, bisa terjadi pada saya dan dia. Pertama kali saya merasakan bahwa ternyata diantara manusia memang ada energy untuk saling tahu. Dulu saya hanya mencemooh ketika ibu saya berfirasat. Mungkin karena ibu saya tidak bisa menjelaskan tentang hubungan absurd yang terjadi diantara anggota keluarga saya. Namun ketika saya mengalaminya, saya kemudian berpikir, bahwa energy manusia apabila berkonsentrasi penuh pada sesuatu, akan menghasilkan suatu kepekaan tersendiri. Mungkin inilah yang menjadi modal pada para “Mind Games” saat mereka dengan mudah menebak angka atau apapun. Paranormal yang sanggup menjelaskan peristiwa kelak. Hal tersebut bukan perkara mistis, melainkan hanya melatih kepekaan yang mungkin sehari-hari bisa kita latih diantara anggota keluarga atau siapapun yang diinginkan. Biasanya yang paling manjur antara hubungan ibu dan anak atau istri dan suami. Ketika saya dan pria ini memutuskan untuk berpisah, saya berpikir, akankah suatu ketika saya bisa menemukan orang yang bisa berkoneksi batin secara luar biasa lagi. Pada kenyataannya, saya bisa menemukannya. Selama beberapa waktu pula, saya menempatkan pikiran saya untuk mengkonfigurasi ulang bahwa saya harus berdamai dengan masa lalu saya. Pria pertama, tidak mungkin menjadi partner keabsurdan saya. Kemudian saya kembali berlatih mengalihkan perasaan yang biasanya dulu saya terapkan pada pria lalu kepada pada pria sekarang. Setiap orang tentunya mempunyai kepribadian yang unik. Tidak pernah sama ataupun dipersamakan. Saya sendiripun tidak pernah mau untuk disamakan dengan perempuan manapun. Dengan pria kedua ini pun, saya kembali menemukan sesuatu yang luar biasa. Bahkan energinya lebih murni, karena secara pribadi, pria ini cukup polos. Bukan orang yang gemar berkata-kata sehingga jiwanya hanya berdasar pada kearifan lokal saja. Hanya mendasarkan pada pengalaman yang dijalaninya. Mungkin kekurangannya adalah tidak banyak belajar dari hal-hal yang ada diluar pemikirannya. Namun hal yang luar biasa, adalah kemampuan untuk cepat beradapatasi dengan pemikiran saya yang cenderung ruwet dan tidak berstruktur. Saya benar-benar merasa nyaman dengannya. Hampir mirip dengan pria dahulu, bahkan pria kedua ini jauh lebih baik dengan tidak banyaknya hambatan dalam mewujudkan perasaan dan energy nya. Perjuangan yang panjang untuk menemukan pria yang bisa menyamankan saya secara cerdas. Hal yang paling indah ketika pria kedua ini mempunyai selera humor yang unik, lebih baik dari pria terdahulu. Pria kedua ini, sanggup membuat saya tertawa tanpa harus berpikir untuk berpura-pura, mampu menjadi diri saya sendiri dan bisa berekspresi sebebas mungkin. Hal penting lainnya, ketika dia mampun berdamai dengan masa lalu saya. Cukuplah itu menjadi alasan dalam menjalani hari-hari mendatang yang tidak bisa diprediksi kemungkinannya. Semoga memang saya telah benar menemukan seorang teman sejati kembali. Yang bisa memimpin, membuat saya kembali berpikir dan mampu merangsang kreativitas hidup.

Rabu, 27 April 2011

Boss, what should we had to learn about?

The leader is one who knows the way, goes the way, and show the way. – John C. Maxwell
Saya membaca ungkapan itu sempat tertegun, ketika menyadari bahwa ketika saya bekerja sekarang, tidak banyak atasan saya yang mengerti arti sesungguhnya tentang jabatan yang sekarang dijalani. Mungkin memang seperti bonafid ketika mereka menyandang jabatan tersebut. Padahal ketika saya menjadi bawahan,kadang tidak pernah menerima suatu bentuk leadership diantara atasan saya. Malah yang ada bekerja bersama-sama. Lha apa gunanya jabatan pemimpin jika hanya bekerja bersama-sama dengan bawahannya. Padahal ketika sekarang bawahan ini seperti kehilangan arah (perusahaan mulai kolaps dengan invansi pihak asing) mereka malah beramai-ramai meninggalkan pekerjaan, tidak ada yang merasa cocok dengan metode yang baru dari management atas yang menerapkan system tersebut. Kerja keras yang selama ini dilakukan, dibiarkan begitu saja. Padahal mereka termasuk para perintis yang keilmuan tentang masing-masing bidang departemen, cukup banyak faedahnya. Namun siapa juga yang tahu isi dalam hati dan pikiran orang, mungkin saja mereka benar-benar telah jenuh, tidak bisa lagi mengembangkan karir, kebutuhan hal yang seharusnya dipenuhi tidak kunjung teralisasi. Atau jauh dari keluarga, minim hiburan, banyak hal lah. Mungkin jika dibandingkan dengan teman-teman saya yang lebih dulu bekerja di perusahaan yang bonafid dalam arti yang sesungguhnya, tentunya secara gaji, mungkin ditempat saya bekerja, gaji benar-benar menjadi modal utama karyawan bekerja. Untuk ukuran pegawai administrasi seperti saya, gaji tersebut, cukup menggiurkan bagi kandidat yang berlomba untuk mengisi kekosongan posisi yang telah lama ditinggalkan. Hanya orang-orang yang terpilih saja, yang mampu mengemban sesuatu yang tidak jelas. Bahkan termasuk saya, yang dari awal tidak suka dengan system management baru ini, lama-lama akan merasa jenuh sekali. Namun, tenggat waktu yang dilakukan menunjukkan bahwa semua orang dinilai kapabilitasnya sebagai karyawan. Saya sendiri juga sedang mencoba memompa semangat saya dalam bekerja. Rasanya seperti mengalami kejenuhan yang luar biasa. Siapa lagi yang bisa membahagiakan diri kecuali diri sendiri. Saya sedang mengumpulkan lagi, semangat yang dulu pernah ada ketika awal saya bekerja. Bahkan departemen saya paling sering berganti kepemimpinan. Justru membuat saya bisa mengerti karakteristik seseorang. Bahkan termasuk pimpinan yang selama ini saya takuti karena kenakalannya. Sori, bos. Tidak bermaksud loh. Jadi tolonglah para pemimpin kami, sedikit melihat bahwa butuh management baru untuk berkolaborasi dengan bos-bos baru juga. Saya juga sedang berusaha. Kadang usaha itu diperlukan agar mampu beradaptasi dengan hal-hal yang selamanya tidak bisa dicerna dengan akal. Cukup mengerikan rasa putus asa saya ini. Tapi setidaknya saya juga harus berpikir ulang, untuk meninggalkan pekerjaan ini. Lha artinya saya harus mudik ke Jawa, dengan segenap penyesalan, kenapa saya harus ke tempat yang terpencil ini. Please help me, God. Show me the way..

Sabtu, 05 Februari 2011

Newlywed

Ketika selesai akad nikah beberapa waktu lalu, yang saya rasakan, hal yang biasa sekali. Ketika saya berharap ada kejutan perasaan yang seperti dirasakan para pengantin laennya, saya tidak mendapatkannya. Semuanya berjalan seperti masa ketika saya pacaran dulu, biasa sekali. Entahlah, ada yang tidak beres sepertinya. Bahkan ketika ada seorang sodara yang mengatakan, "Ini pengantinnya ketawa terus..seneng ya udah nikah?" hi..hi.. padahal sesungguhnya bukan itu yang ada dalam benak saya kala itu. Saya sumringah karena berusaha menutupi kekurangan suami saya yang memang susah sekali untuk tersenyum. Padahal itu baru pertama kalinya saya dan mantan pacar saya menjadi beralih menjadi suami dan istri. Babak baru yang menandai kehidupan seumur hidup saya selanjutnya berawal dari hari itu. Sumpah yang akan selalu menjadi acuan saya mendampingi orang yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari orang laen. Sial, menjadi istri yang punya karakter, emang susah. Masalahnya kadang saya belum bisa menaklukkan emosi. Kenapa saya berani menikah dengannya? hi..hi.. absurd sekali jawabannya. Cuma kadang, rasanya sudah mulai aneh ketika jauh dari dirinya. Mungkin inilah, yang disebut pacaran setelah menikah. Sekarang, ketika bangun pagi, saya mengafirmasi diri saya sendiri, untuk menjadikan teman hidup saya, menjadi parter rumah tangga yang baik. Rasanya menyenangkan, ketika saya dan suami melakukan kegiatan rumah tangga bersama-sama. Ketika sekarang misalnya, saya sedang sendirian ditinggal suami bertugas, yaa.. rasanya seperti masa single dulu. Anggap saja, me time. Rasanya yang masih tetep merasa single walo sudah menikah. Yaaa, merasa hal sama. have fun ajah..