Rabu, 27 Juli 2011

Emansipation

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja melihat tayangan sebuah infotainment di televisi. Tayangan itu sedang menampilkan wawancara dengan salah satu diva terkenal Indonesia yang berbahagia dengan perkawinan keduanya. Tentunya tayangan ini pun ditonton oleh berjuta masyarakat yang pada saat sekarang ini selalu tergila-gila dengan info tentang orang lain. Misalnya peristiwa seorang pesohor dari kalangan kepolisian hanya dengan cara simple yang semua orang biasa lainnya bisa lakukan. Hanya dengan moment yang tepat, bisa memutar balikan jalan hidup seseorang. Saya saja sampai kesulitan melepaskan berita tentangnya. Karena setiap berpindah channel, setiap kali itu pula, info tentang anggota kepolisian tersebut muncul. Kembali pada cerita tentang diva tadi. Salah satu segmen curhatnya, ketika ditanya oleh pewawancara, “Lalu bagaimana dengan karir mbak X, selanjutnya? Apakah akan tetap melanjutkan karir menyanyi atau tidak?” jawaban sang diva, “Saya bersyukur, suami saya masih mengijinkan saya untuk tetap menyanyi. Mungkin saya hanya tidak mengambil job di akhir pekan. Sehingga waktu saya bersama keluarga lebih banyak.” Menurut saya, cukup gawat juga pernyataan sikap seperti ini. Kembali mengambil resiko menjadi public figure yang menjadi tontonan jutaan orang. Kadang sikap pun cukup bisa menjadi tiruan bagi penggemarnya. Alangkah baiknya jika sikap yang ditampilkan pada khalayak merupakan sikap yang baik-baik secara normative.
Suami memang merupakan kepala keluarga yang harus menjadi leader yang baik. Namun bukan mutlak, mampu menjadi acuan arah perjalanan keluarga. Ada peran istri yang menjadi co-pilot. Ketika seorang istri memutuskan untuk bekerja, tidak berarti harus menunggu respon suami. Selama bekerja itu merupakan sikap ekspresif istri. Ketika abad sekarang, dimana wanita semakin bisa eksis dengan karya-karyanya, tentunya para suami akan lebih menghargai istri yang mandiri. Kemampuan untuk bekerja, merupakan sikap kuasa istri terhadap pendapatnya sendiri. Jika kebutuhan sekarang semakin tinggi, wanita tidak seharusnya hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik saja. Tidak selamanya, suami mampu menyediakan segala sesuatunya menjadi sempurna. Bekerja memang merupakan ekspresi. Tidak mutlak dilakukan jika suami mampu menanggung semua hal untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Zaman nabi saja, sudah dicontohkan, kemandirian wanita merupakan sarana yang baik untuk mendukung eksistensi keluarga. Dari mulai Khadijah sampai Aisyah, merupakan wanita-wanita cerdas yang tidak hanya saja mendampingi suami, tetapi tetap melakukan pekerjaan yang mampu menjadikan mereka wanita mandiri. Jadi bekerja merupakan hak wanita. Tak perlu menunggu ijin suami. Kalau suami yang mempunyai wawasan luas dan bijaksana, tentunya akan bangga ketika istrinya mempunyai kemandirian. Karena pada dasarnya suamilah yang diuntungkan, setidaknya bebannya menafkahi keluarga, agak lebih ringan. Jika pengertian bekerja adalah pegawai, dan suami menjadi lebih repot karena posisi istri lebih tinggi darinya. Sebaiknya usaha lebih keras lagi menundukkan ego yang tidak mau kalah dengan istrinya. Jika istri bekerja di rumah, alangkah baiknya jika suami mengerti tentang betapa repotnya mengasuh anak dan bekerja sekaligus. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan secara sehat. Istri yang hanya sibuk mengurus kegiatan domestik rumah tangga, kecenderungannya tidak mampu mengimbangi pemikiran suami yang bekerja di luar rumah. Informasi diterima suami, akan mempengaruhi pola pikirnya. Jika istri yang aktif, tentunya kecerdasannya pun akan terus terasah sehingga mampu mengimbangi pemikiran suami. Karena istri mampu memahami suami dan sebaliknya.

Everybody Can Cook


Bagi saya, mungkin ini merupakan hal yang luar biasa. Sepanjang umur saya, hingga beberapa waktu lalu. Saya tidak pernah memasak makanan dengan berdasar pada racikan bumbu saya sendiri. Biasanya saya cuma berperan sebagai asisten koki. Misalnya memotong sayur, mengupas bumbu atau mengaduk adonan. Baru setelah saya mempunyai tempat tinggal sendiri, saya baru mempunyai keberanian untuk membuat masakan saya sendiri. Pada awalnya saya berdasar pada rasa yang selama ini saya makan. Thank’s to God, bahwa selama ini, lidah saya terbiasa dengan masakan ibu dan kakak perempuan saya yang memang sangat jago memasak. Dulu, sewaktu saya masih single, memasak merupakan momok tersendiri. Saya selalu ketakutan untuk hidup sendiri, karena kekurangan saya, tidak bisa menyediakan makanan. Sedangkan untuk membeli, artinya saya masih ketergantungan pada penjual makanan. Sebagai anak kost yang benar-benar jauh dari orang tua, kadang ada rasa kekhawatiran ketika penjual makanan tutup, maka saya akan mengalami kesulitan. Kelak pun, saya pasti harus berhadapan dengan bumbu dan berbagai macam hal nya tersebut. Maka mulailah saya memberanikan diri untuk memasak. Tentunya dengan bekal telephon kakak perempuan saya, karena jika saya telephon ibu, pasti nya saya kena omelan nya. Waduh, mending mencari aman saja. Kakak perempuan saya, sungguh dengan sabar mengajari adik perempuan nya yang tidak begitu cerdas ini untuk memperkirakan bumbu-bumbu. Resep sederhana mulai saya coba, yang penting, rasanya sudah terasa masuk akal. Pasti saya anggap masakan itu sukses. Sungguh tidak terkira rasa bersyukur saya, bahwa selama ini, saya mempunyai ibu dan kakak perempuan yang memanjakan saya dengan masakan yang enak, sehingga ketika sekarang, saya hanya mengira rasa masakan yang pernah saya makan dulu. Hasilnya tidak mengecewakan. Sirloin steak saya, cukup membuat orang lain yang merasakan mengatakan cukup enak. (entah mereka bilang dibawah tekanan atau memang karena perasaan tidak enak pada saya) hi..hi.. yang jelas, sejak saat itu, saya menemukan keasyikan baru, untuk lebih banyak mencoba masakan yang biasanya saya kudu merayu ibu atau kakak saya untuk membuatkan makanan yang saya ingin. Sekarang, setidaknya saya mampu membuatnya sendiri, walaupun harus melalui perjuangan panjang. Yang penting, saya belajar mandiri seutuhnya. Jika ingin mencoba masakan yang baru, saya bisa mendapatkan resep nya di internet atau majalah. Sekarang, saya menyadari betapa memasak mempunyai rasa keasyikan tersendiri yang berbeda dengan kesenangan saya yang lain. Acara favorit saya di televisi, selain film kartun, sekarang acara master chef, chef ala dan masih banyak acara masak-memasak lainnya. Apalagi pelan-pelan saya mulai mengumpulkan peralatan masak. Walau hanya sederhana, namun cukup dapat memuaskan rasa yang biasanya dengan mudah saya terima, karena di tempat kelahiran saya, semuanya serba tersedia. Sedangkan saya disini, ketika semua makanan tidak semua dapat saya nikmati secara mudah. Maka saya harus membuatnya. Not bad lah.. walau yang bilang enak, cuma saya sendiri.

Minggu, 03 Juli 2011

Ini kali ptama saya entri blog dr hp saya. Semoga bisa tliat,krn emg br mcoba