Sabtu, 02 Januari 2010

Lelaki itu beranjak pergi

Lelaki itu datang menghampiriku. Duduk dengan tenang di sebelahku seakan kita hendak membicarakan hal-hal ringan seperti biasanya. Sejak tadi, aku menunggunya di bangku taman kecil ini, tempat biasa kita berjanji untuk bertemu. Taman itu bersebelahan dengan tempat perbelanjaan sehingga kami biasa bertemu saat aku menunggu ibu belanja. Entahlah, sejak kapan aku bertemu dengannya pertama kali. Yang jelas, aku mengagumi kepribadian lelaki yang tak pernah bernama itu. Walau aku tahu bahwa manusia itu selalu punya kekurangan, tapi aku selalu bisa menerima kekurangan lelaki itu.
“Kamu benar hendak menikah dengannya?” tanya lelaki itu padaku.
“Mungkin. Walau benar hingga sekarang aku tidak pernah yakin dengan pernikahan tapi sepertinya aku akan menikah dengannya.” jawabku datar.
Lelaki itu mengangguk pelan. Ia merenung, entah apa yang dipikirkannya. Aku menunggu.
“Mengapa kita tidak bisa menikah? Bukankah diantara kita saling mengakui bila kita saling menyayangi?” tanyaku
“Kau tidak bisa menikah dengan bayangan. Kamu pun juga paham, aku juga sangat menyayangi dan mencintaimu.” jawabnya
“Aku hanya bisa mendampingimu, ada menjagamu. Tenang saja, aku cuma tidak bisa menikahimu. Itu saja.” tambahnya
Kami terdiam beberapa saat.
“Calon suamimu pasti marah jika tahu saat ini kamu ada bersamaku. Pulanglah, lebih baik kamu ikut dalam persiapan pernikahanmu. Usahakan dia tenang bersamamu selamanya. Dia telah mencintaimu dengan tulus. Jangan sia-siakan lelaki seperti dia.” Lelaki itu berkata lagi.
“Memang susah menempatkan bayangan. Antara ada dan tiada” kataku
Lelaki itu tertawa mendengar perkataanku. Ia menghela napas panjang seakan mengeluarkan semua beban yang ada dalam pikirannya sekarang ini. Dalam hatiku, aku sadar hanya mencintai satu pria, hanya dia. Lelaki tak bernama yang tidak akan mungkin terganti oleh lelaki yang lain. Lelaki yang tidak bernama itu menjadi selayaknya seorang guru bagiku. Selama ini kami bisa berbincang apa saja. Bahkan hal-hal yang tidak bisa aku ceritakan pada calon suamiku seperti tentang bosku yang menyukaiku. Bila aku cerita pada calon suamiku, yang ada malah keesokkan pagi bosku berangkat ke kantor dengan muka lebam karena calon suamiku telah memukulnya. Tentunya akan menjadi gosip yang menyenangkan bagi teman-teman kantorku selama beberapa waktu. Aku tak ingin terkenal hanya karena tercemar. Hanya pada lelaki tak bernama ini, aku bisa menyampaikan bermacam hal yang biasa dianggap aneh dan mendapat dukungan seperti yang aku inginkan. Mungkin orang lain akan menganggap hal yang kulakukan dengan lelaki tak bernama itu merupakan hal gila. Namun aku dan lelaki tak bernama itu menyukainya.
“Kau masih ingat saat kamu bilang bahwa kamu punya pacar?” tanya lelaki itu
“Ya, aku ingat. Ada apa?” aku kembali bertanya
“Aku cemburu.” jawabnya pelan
Cukup mengejutkan. Aku tak pernah tahu perasaannya. Waktu itu, dia hanya menjawab bahwa semoga lelaki yang menjadi pacarku ini adalah orang yang baik dan bertanggungjawab. Harapannya terkabul. Lelaki yang menjadi pacarku inilah yang menjadi calon suamiku sekarang. Bulan lalu, dia melamarku dan lusa kami akan menikah. Lelaki tak bernama ini selalu menggambarkan hal-hal yang indah dan manis. Baru sekali ini, dia menggambarkan hal-hal yang buruk dan pahit. Ia merasa cemburu. Hal yang tidak pernah terbayangkan olehku. Dia selalu mengajarkan tentang perasaan baik dan berpikir baik pada semua hal. Hal ini cukup berpengaruh padaku, karenanya hidupku menjadi lebih menyenangkan. Aku tidak pernah berpikir buruk pada apapun. Selalu berpikir ada hikmah dibalik semua hambatan yang terjadi padaku. Hanya saja, aku menjadi sedikit lebih acuh pada sekelilingku. Termasuk dengan perasaannya. Aku tidak perduli.
”Seringkali hidup ini tidak mudah ditebak arah dan tujuannya. Kecuali kita sendiri yang punya orientasi jelas untuk menentukan kemana arah yang hendak dituju.” lelaki itu berkata padaku.
”Ya, aku sangat paham dengan itu. Dulu aku juga tidak percaya dengan kebetulan, tapi karena peristiwa itu aku menjadi percaya bahwa Tuhan telah merencanakan semua dengan baik. Hingga kebetulan saja juga bisa mengubah hidupku.” ujarku pelan
”Pertemuan dengan calon suamimu itu?” tanya lelaki itu
“Ya.”
“Bagaimana?”
“Aku hanya mengandalkan doa. Sepanjang tahun itu aku selalu meminta agar segera dipertemukan dengan jodohku. Aku akan berusaha mencintainya seperti aku mencintaimu. Akhirnya, Tuhan memberikan aku sebuah perkenalan yang indah dengannya. Walau tak selamanya hubunganku bisa berjalan dengan baik. Bahkan beberapa bulan yang lalu, kami sempat putus. Hingga akhirnya kami dapat berbaikan kembali dan dia melamarku bulan kemarin. Kamu tahu, aku tidak mencarinya. Dia yang didatangkan Tuhan padaku. Kamu juga begitu. Walau kita bertemu hanya untuk berpisah.” jawabku getir
”Sudahlah. Tidak perlu disesali. Kita bertemu mungkin memang karena ada banyak pelajaran yang harus kita terima. Belajar untuk menerima bahwa kita tidak mungkin bersatu walaupun kita sama-sama saling mencintai. Belajar untuk menerima segala kekurangan. Itu dapat kamu ambil manfaatnya dengan berhubungan dengan calon suamimu. Setidaknya itu juga membuatmu kuat saat kamu putus dengannya. Kamu justru membiarkannya dengan wanita lain. Tidak semua wanita sanggup mengambil keputusan begitu. Kecuali telah mengalami perjalanan spiritual sebelumnya. Kamu benar-benar tangguh.” hiburnya
”Kamu juga membuatku cemburu.” ujarku lagi
“Bukankah itu yang kamu harapkan?” jawabnya sambil menoleh padaku
Aku hanya tersenyum pahit. Saat itu lelaki tak bernama ini mengatakan padaku bahwa dia telah mempunyai kekasih di kota lain. Tiba-tiba aku merasakan perih yang sangat dalam hatiku. Ternyata aku bisa cemburu dengannya. Perasaan yang aneh. Karena biasanya aku akan maklum jika lelaki tak bernama ini bercerita tentang perempuan lain. Aku percaya dengannya. Hal itulah yang membuatku cukup sulit mencintai calon suamiku sekarang. Karena bayang-bayang lelaki tak bernama ini selalu ada untukku. Mungkin aku tidak akan pernah benar-benar melupakan lelaki ini hingga suatu ketika calon suamiku benar-benar memutusku. Aku baru merasakan dunia seakan runtuh. Ternyata aku juga mencintai calon suamiku. Aku kehilangannya. Hidupku benar-benar hancur. Mungkin karena ketergantungan atau memang aku benar-benar mencintainya. Aku tidak pernah tahu. Sewaktu putus, aku juga merasa dilema antara tidak perduli dengan rasa sakit, ingin mencari yang lain atau tetap menunggunya. Yang aku lakukan adalah berdoa. Aku berdoa semoga antara aku dan calon suamiku sekarang dapat dipersatukan lagi dalam jalinan kasih. Rasa perih cukup mengganggu dalam meniti kesabaranku. Ingin rasanya bila semua hal yang aku impikan itu segera tercapai. Tapi kurasa semua butuh proses dan waktu. Tuhan selalu menjawab dalam caranya sendiri. Menunggu dalam harap yang entah kapan akan dipenuhi. Selama itu yang aku rasa hanya hampa, dingin dan sakit. Tapi aku cukup senang, karena dalam masa penantian itu aku tidak menghubungi lelaki tak bernama itu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan burukku untuk cepat mencari korban selanjutnya sebagai teman curhat. Hingga suatu ketika aku bertanya pada temanku tentang keberadaan lelaki tak bernama ini. Kudengar kabar, dia telah menikah dan tinggal di kota tempatnya bekerja sekarang. Aku baru sadar, ternyata aku harus bisa hidup tanpa lelaki tak bernama itu. Cukuplah dengan masa lalu yang indah sekaligus buram itu. Aku mencoba bertahan dengan keangkuhan untuk tidak meminta bantuan seperti biasanya. Aku hanya berusaha curhat dengan Tuhan. Awalnya memang harus dilalui selayaknya orang gila, tetapi lama kelamaan justru kecanduan untuk selalu berdekatan dengan Tuhan. Aneh.. perasaan yang syahdu, khusyuk dan dingin terlanjur melenakan aku untuk selalu memohon apapun. Parahnya lagi, Tuhan selalu punya jalan untuk mengabulkan doaku dengan caranya yang selalu penuh humor. Cukup menyenangkan ketika aku mulai menghubungi calon suamiku yang pada waktu itu juga hendak menikah dengan pacar barunya. Calon suamiku ini agak sedikit lebih menunjukkan sifat penyabarnya daripada kemarahan seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun aku tahu, bila dia bukan menjadi milikku lagi, tetapi tetap saja perlakuanku padanya tidak berubah. Hingga tiba masanya Tuhan mengabulkan doaku agar bisa mengembalikan calon suamiku yang hilang itu padaku kembali. Perbedaan yang cukup besar dengan pacar lamanya membuat calon suamiku ini berpikir ulang untuk menikahinya. Akhirnya dia memutuskan kembali padaku. Setidaknya itu yang menjadi versi ceritaku. Entahlah jika calon suamiku yang bercerita pada orang lain. Karena perbedaan yang ada dalam diriku dan dirinya juga cukup besar, ditambah lagi dengan perilaku aku yang dahulu telah melukainya.
Namun, aku hidup senyatanya. Tidak mungkin mengandalkan sebuah bayangan untuk hidup nyata. Masa depan yang akan kulalui adalah bersama calon suamiku sekarang ini. Biarkan lelaki tak bernama itu pergi dengan meninggalkan banyak hal pelajaran hidup yang selalu berguna bagiku. Bahkan pesannya padaku hingga detik terakhir pada saat dia hendak menikah akan aku ingat sepanjang hidupku. Tak ada salahnya aku belajar mencintai calon suamiku.

Tidak ada komentar: